Rectoverso par Dee Lestari | Bonne lecture


« Mungkin matahari lupa ingatan lalu keasyikan terbenam atau terlambat terbit ? » Ketika sampai di kalimat itu di halaman 27, aku berhenti. Merasakan napas yang tertahan di dada. Ada rasa yang mendesir gamang di seluruh persendianku, sedikit lagi, andai saja aku tak lagi malu pada dunia bahwa aku lelaki, air mata pasti sudah meleleh dan mengalir di tebing pipiku. Adakah dunia mengerti ? Miliaran panah jarak kita, tak jua tumbuh sayapku…

Andai saja aku tahu peta waktu, ketika itu aku tak akan menunggu. Dua jam lagi dia akan mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi, aku yang terbiasa dengan kebiasaannya mengagungkan prosesi dan setia pada waktu sebagai sesuatu yang tak bisa mendua, aku menunggunya datang mengetuk pintu—atau setidaknya menderingkan teleponku—lalu memberikan kecupankejutan atau

Tengah malamnya lewat sudah, tiada kejutan tersisa… Saya berkesimpulan, tak ada ucapan. Tak ada perhatian. Dia lupa. Seperti seorang ayah yang lupa membawakan oleh-oleh mainan pada anaknya sepulang dari luar kota padahal si anak sudah menunggu lama dan menceritakannya pada hampir seluruh kawan-kawannya. Aku kecewa. Seperti anak kecil yang kecewa.

Andai saja aku tahu peta waktu, aku tak akan marah padanya. Sebentar lagi saja akan kutunggu, ternyata dia sedang menyiapkan kejutan yang lebih hebat dari sekedar dering telepon yang berteriak tepat ketika jam dinding menunjukkan waktu 00:00. Sebentar lagi saja, andai kutahu peta waktu.

Lalu kau datang dengan kejutan besar itu. Tapi aku sudah pergi meninggalkan malam ulangtahunku sendiri.

« Mundurlah wahai waktu, ada selamat ulang tahun… yang tertahan. »

***

Rectoverso mungkin hanya menuliskan kisah-kisah sederhana, tapi kesederhanaan itulah yang membuatnya tidak berjarak dengan para pembacanya. Seperti saya yang menikmati « Selamat Ulang Tahun » sebagai refleksi dari kisah malam ulang tahun saya sendiri – yang benar-benar pernah saya alami dalam kenyataan. Bénar-bénar terasa, benar-bénar dekat. Setelah menyelesaikan kisahnya, saya mendengarkan lagunya, dan: gelombang itu datang, seperti ombak yang memeluk erat mata kaki kita, mengajak kita berlepas dari gigir pantai, menuju laut untuk menyelami kedalaman maknanya, mabukanyala.

Hibridasi lagu dan kisahnya telah benar-benar menjadi Rectoverso yang me-rectoverso. Lagu dan kisahnya tidak hanya saling bercermin dalam kedalaman maknanya, tapi juga saling bercermin bahkan di wajah terluar mereka. Untunglah komposisinya 11:11, sebelas kisah dan sebelas lagu. Kalau saja Dee membuat 12 kisah, untuk menjadikannya me-rectoverso, tentu harus ada dua puluh satu lagu, 12:21. Atau kalau 10, hanya satu lagu yang bisa membuatnya menjadi komposisi rectoverso, 10h01. Rectoverso dalam komposisi 11:11, membuat saya tahu bahwa berkomunikasi dengannya adalah menghilangkan pembatasnya, melebur dengannya: satu-satu bacalah kisahnya, satu-satu resapilah maknanya.

Di sisi lain, Rectoverso benar-benar menginspirasi. Buktinya, setelah membaca kalimat ini : « Bagaimana bisa kita ingin pisah dengan diri sendiri ? dalam Peluk di halaman 54, saya tergerak untuk menulis Cermin. Gagasan saya dalam Cermin mungkin memang agak lain, tapi ia benar-benar menjelma menjadi bukti bahwa Rectoverso—sebagai sebuah kesatuan yang koheren—benar-benar menginspirasi pembacanya.

Saya membelinya di toko buku, jadi tidak ada tandatangan, tidak ada pemaketan khusus yang mengantarkan Rectoverso ke ruang baca saya. Hanya bonus stiker yang selanjutnya membuat saya bingung harus menempelkannya di mana. CD-nya saya beli terpisah juga. Sehingga harus bernasib sama seperti bukunya. Tapi saya tetap puas, toh meskipun buku itu bertandatangan, saya tetap tidak bisa membaca tandatangannya—setidaknya sebelum saya bergabung dengan klub Firasat. 🙂 Saya tak menyesal tak dapat tandatangannya, meskipun suatu saat saya tetap akan menagih tandatangannya.

Kritik saya sederhana saja, untuk buku yang masuk jadwal beli saya di akhir bulan menjelang Lebaran. Harganya membuat saya kesulitan mencarikan budget yang tepat dan memadai. Apalagi, untuk mahasiswa yang harus mudik seperti saya, harganya agak mengganggu kenyamanan dompet saya. 🙂 Soal bukunya, ada beberapa gambar/image dan foto yang bagi saya kurang ‘berbunyi’… Entah kenapa…

Akhirnya, kali ini aku mengucapkannya tidak seperti perpisahan, bukan juga perjumpaan, melainkan sebuah kesadaran (Aku Ada, hal. 36). Di atas semua itu, saya mesti mengucapkan banyak-banyak terima kasih untuk kehadiran Rectoverso di ruang baca saya, dan tentu saja, angkat topi untuk ibu yang melahirkannya.



Source link