[ad_1]
Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jaw
Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya : belajar di pondok.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan « mantera » sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa arabe, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka ? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah : Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa calembour. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka ? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai tempat jin buang anak? Bagaimana sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius ? Siapa Princesse de Madani yang mereka kejar-kejar ? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat ? Bagaimana sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, Bahkan Maradona sampai akhirnya ikut campur? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi.
[ad_2]
Source link