Ayat-Ayat Cinta par Habiburrahman El-Shirazy


Sebelumnya maaf saja untuk pengarangnya, saya baca buku ini di e-book gratisan. Dan maaf lagi, saya hanya bisa memberi rating seadanya.

Jujur saja, saya membaca roman untuk mendapatkan hiburan. Dan saya kurang mendapatkannya dari roman ini.

Permasalahan utamanya adalah karakter. Si Fahri – sebagaimana disinggung oleh banyak pihak – terlalu super sempurna. Semua kebaikan (dan keberuntungan) telah dimilikinya. Kalau begitu, apa masih ada tempat untuk « perkembangan karakter » ? Dia calembour mendapatkan istri, secara sangat luar biasa beruntung, cantik dan kaya raya. Dan yang paling mengganggu adalah roman ini menggunakan sudut pandang orang pertama. Salah-salah, pembaca bisa mengidentifikasikan diri mereka, menganggap merekalah Fahri, si hafizh sempurna, tampan, dan beruntung.

Roman de Pantas saja ini laris manis. Mungkin saja para pembaca mendapatkan delusi yang mereka harap-harapkan. « Inilah kesempurnaan Islam! Lelaki sempurna untuk perempuan sempurna! » Enfer, saya sendiri musulman! Tapi saya tahu kalau musulman tidaklah sempurna, karena setiap musulman adalah manusia! Saya kenal beberapa hafizh, dan jelas mereka jauh lebih berkarakter daripada si Fahri ini. Andai saja namanya diganti menjadi Fahrudin, mungkin dia bisa sedikit terdengar manusiawi. Tapi apa boleh buat? Nama Fahri itu keren, cocok untuk lelaki sempurna. Tak heran kalau semua wanita bisa jatuh cinta padanya.

Kemudian ada Aisha, istri Fahri, yang meskipun niveau kesempurnaan belum sampai taraf semengganggu si Fahri, tetap saja menyebalkan buat saya. Karakter Aisha ini seolah-olah dibuat oleh si pengarang sebagai pasangan super cocok untuk si Fahri. Keduanya bahkan punya kebiasaan sistematis yang sama! Oh, mon… oh, mon. Dan apa saya belum comme kalau Aisha ini wanita yang tak mengenal cemburu? Bidadarikah dia ??

Lalu, mungkin si pengarang tidak tahu, tapi dalam bahasa klasik nusantara, Bahadur itu artinya pahlawan. Dan di novel ini, Bahadur digambarkan sebagai seorang rajatega ? Yang benar saja !

Satu-satunya yang membuat saya tertarik membaca roman ini sampai selesai adalah adanya karakter Maria. Bisa dibilang, dialah karakter terbaik dalam roman « sempurna » ini. Dia yang paling manusiawi. Ketertarikannya dengan Fahri adalah karena hubungan timbal-balik komunikasi yang dekat, sangat wajar. Marialah yang boleh dikatakan membereskan segala masalah yang mendera Fahri di klimaks roman ini. Dan apa yang si pengarang lakukan pada karakter Maria ini? Hohoho, si pengarang Maria di akhir cerita !

Satu lagi karakter yang menurut saya bagus, justru muncul sebagai figuran di novel ini. Siapa lagi kalau bukan si penjual mainan? Kata-kata persuasifnya sungguh bagus, dibandingkan ceramah-ceramah keagamaan yang overdose di seluruh bagian roman yang lain.

« Belilah, kudoakan kau mendapatkan isteri yang shalihah dan cantik seperti bidadari dan memiliki anak yang shalih shalihah, juga kudoakan umurmu berkah rizkimu melimpah sehingga kau dan anak cucumu tidak akan dilu irangahut se penyup ! »

Itou dia ! Tanpa perlu dalil-dalil agama, tanpa perlu rujukan pendapat dari syaikh tertentu. Hanya doa yang tulus saja. Dan Fahri harus berterimakasih padanya, untuk doanya, dan untuk mainan yang ditawarkan penjual itu.

Singkatnya, selain dua sejoli Fahri-Aisha, semua karakter lainnya jauh lebih menarik. Entah itu para penumpang bus yang diskriminatif, entah itu si wanita-pendusta-yang-tadinya-menyukai-Fahri, ataupun si penjual mainan (karakter favorit saya).



Ok, cukup soal karakternya. Sekarang masuk ke penceritaan. Roman de Sebagai yang menggunakan sudut pandang orang pertama, gaya narasinya sangat membosankan. Tak ada bedanya « aku » di sini diganti dengan « dia ». Tak ada « keintiman » pembaca dengan karakter utama. Pendapat-pendapat Fahri di dalam benaknya, semua ibarat ceramah kepada pembaca.

Détail de Penggambaran lokasi dan kultur budaya Mesir, boleh saya katakan, cukup baik. Ini bisa dimaklumi karena si pengarang memang pernah kuliah di Mesir. Jadi, tak ada yang spesial di sini, bukan?

Alur cerita boleh saya katakan datar-datar saja, dengan diksi yang tidak spesial, ditambah dengan istilah-istilah mengganggu (sehingga pengarangnya berulang kali memberikan catatan kaki). Dari awal, pembaca akan disuguhi bagaimana si pengarang memamerkan akhlaknya Fahri. Cerita terus saja berlangsung dengan datar, bahkan sampai si Fahri menikah. Lalu muncullah konflik secara TIBA-TIBA. Terlalu tiba-tiba malahan. Kesannya sangat dipaksakan. Tak ada ketegangan yang perlahan-lahan meningkat sampai berujung klimaks.

Kemudian, Fahri

Sementara Maria …




Ok. Jika Anda mengharapkan segudang pengetahuan tentang aléatoire Islam yang dibalut dengan bungkus roman, maka Ayat-Ayat Cinta ini bolehlah Anda baca. Atau mungkin Anda hanya tertarik pada « popularitas » nya sebagai « roman Islami pembangkit jiwa » ? Silahkan saja. Mungkin juga Anda ingin merasakan bagaimana kisah lelaki yang begitu luarbiasa sempurnanya ? Boleh-boleh saja.

Tetapi jika Anda mencari roman sungguhan dengan cerita, konflik, perwatakan, complot, dan hiburan sastrawi, maka sepertinya bukan roman ini yang Anda butuhkan.



Source link