jeudi, janvier 9, 2025

Madilog par Tan Malaka | Bonne lecture

[ad_1]

Tan Malaka menulis buku madilog dengan maksud untuk menjadikannya sebagai cara berpikir para proletar di Indonesia. Madilog merupakan singkatan dari « matérialisme, dialektika, dan logika. » Namun, tampaknya istilah madilog dalam konteks ini lebih tepat diuraikan menjadi « matérialisme, dialektika, dan ideologi », karena buku ini, walaupun terkesan epistemologis, ternyata bersifat ideologis dan menyalahyasgunakan rani justifié

Memang di satu sisi buku Madilog mampu memberikan pengenalan terhadap logika dengan baik. Namun tidak tentang sains. Misalnya, Malaka menulis bahwa di Mars pasti ada tumbuhan. Mungkin bisa dipahami karena pada masa itu sulit untuk mencari literatur tentang sains. Namun, paling tidak bila ia melek sains, maka sudah sepatutnya ia mengetahui sifat dasar seorang ilmuwan dan tidak menggunakan kata « pasti », tetapi « mungkin » bila belum terbukti secara pasti. Yang paling disayangkan di sini adalah motif ideologis Tan Malaka yang membuatnya menyalahgunakan sejarah dan sains (yang bersifat epistemologis serta bebas nilai). Berikut adalah dua kritik utama saya terhadap tulisan Tan Malaka di Madilog :

1. Dialektika adalah tesis bertemu dengan antitesis menjadi sintesis. Marxis mengklaim bahwa prose ini juga berlangsung dalam dunia materialis dan tidak hanya dalam tataran ide saja seperti yang dikatakan oleh Hegel. Tan Malaka bahkan mengatakan bahwa materialisme dialektis adalah hukum alam yang berlaku dalam semua peristiwa di seluruh alam semesta, dari sejarah India sampai hidrogen dan helium. Satu hal yang perlu ditekankan adalah bahwa tesis dan antitesis menunjukkan hitam dan putih, dua hal yang saling berlawanan atau dikotomi. Tan Malaka gagal mempertimbangkan hal ini dan malah melakukan cocologi terhadap materialisme dialektis. Misalnya, Tan Malaka mengatakan Hinduisme di India bertemu dengan antitesis Bouddhisme dan Jainisme menjadi sintesis. Bagaimana bisa hindouisme dan bouddhisme dipertemukan layaknya hitam dan putih? Bukankah masing-masing agama punya karakteristik unik tersendiri ? Bukankan masing-masing agama bahkan memiliki kesamaan, seperti misalnya pengurangan nafsu duniawi? Bagaimana bisa dipandang dikotomis layaknya materi dan antimateri?

Hal ini menunjukkan salah satu masalah dalam klaim bahwa matérialisme dialektis adalah hukum alam. Sebagai ilustrasi lain, atome hidrogène dan oksigen bila bertemu menjadi H20. Dari sudut pandang materialisme dialektis, hidrogen akan dilihat sebagai tesis, oksigen sebagai antitesis, dan H20 sebagai sintesis. Namun, hidrogen bukan lawan dari oksigen layaknya jahat adalah lawan dari baik! Hal yang sama dengan NaCl. Natrium bukan lawan dikotomis dari klorida !

Maka dari itu, perlu diingat bahwa alam semesta sendiri tidak bersifat dikotomis, tetapi terdiri dari dari kontinum. Misalnya, dalam kasus aborsi, ahli hukum menuntut agar ilmuwan mampu membuat kategori dikotomis antara hidup dan tak hidup dan menentukan batas antara keduanya. Dalam sains, hal ini tak bisa dilakukan, karena dari pembuahan sampai kelahiran semuanya ada dalam kontinum. Tan Malaka padahal sudah mengetahui keberadaan kontinum ini, seperti pemaparan singkatnya tentang batas antar spesies. Tetapi karena motif ideologisnya, ia melupakan hal ini dan malah melakukan cocologi antara sains dan sejarah dengan materialisme dialektis, yang membawa kita ke poin selanjutnya.

2. Tan Malaka menyalahgunakan sains dan sejarah untuk menjustifikasi ideologi Marxisnya. Misalnya, ia mengatakan negation der negation – hidrogen dihapuskan oleh helium, salah satu contoh materialisme dialektis. Hal ini adalah abus de la science, karena dalam sains, hidrogen tidak dihapuskan oleh helium. Kenyataannya, reaksi proton-proton dalam matahari menambahkan jumlah proton dalam hidrogen sehingga menjadi hélium, sehingga tidak ada yang sortira « penghapusan » di sini. Perlu ditekankan juga bahwa hukum alam tidak mempreskripsikan sekadar tesis + antitesis = sintesis, tetapi bervariasi, dari e=mc2 sampai hukum bahwa bila air mencapai suhu 100 derajat celcius akan berubah menjadi uap.

Malaka juga menyalahgunakan peristiwa sejarah. Ini penting bagi Malaka karena bila sejarah dapat dicocok-cocokan dengan materialisme dialektis, ia dapat mengklaim bahwa sejarah ini maju karena materialisme dialektis, dan salah satu bentuknya adalah kapitalis bertemu denganar antitesisuknya proletisis. Akan tetapi sejarah juga ditentukan oleh banyak sekali faktor yang saling berinteraksi dan kompleks, sehingga tidak mudah bagi kita untuk membuat prediksi sejarah. Misalnya, dalam pembentukan negara, menurut Jared Diamond dalam bukunya Gun, Germs, and Steel ada banyak sekali faktor yang bermain, seperti lingkungan, keberadaan hasil tani yang berlimpah, keberadaan hewan ternak, dlllim, let Faktor ini saling berinteraksi sehingga negara besar muncul di Mesir, Mésopotamie, dan Cina, tetapi tidak di Australie. Hal ini (singkatnya) diakibatkan oleh fakta bahwa di tiga daerah pertama iklim dan lingkungannya mendukung produksi pertanian dan peternakan yang memungkinkan sebagian orang untuk tidak ikut mencari makan dan seampesialisasi dan, Australia di Sejarah peradaban-peradaban dunia bergerak bukan karena adanya satu faktor yang menjadi tesis bertemu dengan lawan dikotomisnya untuk menjadi sintesis. Tidak sesederhana itu.

Maka dari itu, sangat disayangkan bahwa Tan Malaka berusaha menyesatkan Indonésie dengan karangan bahwa matérialisme dialektis adalah hukum alam. Paling tidak ia patut diapresiasi karena berusaha mencerahkan bangsa dari hal-hal yang berbau takhayul dengan sains dan logika. Namun, bagi yang ingin membaca buku ini untuk mendapat pengenalan logika dan sains, saya menyarankan buku lain yang jauh lebih bagus dan bebas nilai, seperti buku-buku Carl Sagan.

[ad_2]

Source link

- Advertisement -

Latest